Saturday 20 February 2010

kapan ya...

kapan ya nulis lg di blog ini..huft...semoga akan ada lagi...

Sunday 3 May 2009

Apakah Cinta Sejati Itu?

Kata orang cinta itu tak harus memiliki, cinta itu buta, cinta itu tidak rasional, cinta itu memberi, cinta itu bla bla bla…. Banyak orang menggambarkan sebuah makna dari kata ‘cinta’. Cinta merupakan salah satu kata yang susah untuk didefinisikan karena kita hanya bisa dirasakan dalam hati. Banyak hal yang ingin kita lakukan pada orang yang kita cintai. Salah satu yang mutlak adalah membuatnya bahagia sehingga kita rela melakukan apapun untuk orang yang kita cintai meskipun terkadang kita merasakan ‘sakit’ atau terluka.
Tapi tahukah anda disaat anda melakukan sesuatu pada orang yang anda cintai namun anda merasa ‘sakit’ atau terluka maka ada yang perlu dipertanyakan pada rasa anda. Apakah itu? Anda belum mencintainya setulus hati anda karena ada rasa ketidakrelaan dalam melakukan sesuatu itu. Cobalah tanyakan pada diri anda? Pasti anda sepakat dengan apa yang saya katakan. Masih ada keegoisan dalam diri anda untuk memilikinya atau melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang kita inginkan, manusiawi memang namun sebaiknya hal seperti ini coba untuk kita hilangkan karena justru akan menjadi membebani anda.
Cintailah seseorang dengan ringan artinya lakukanlah semua dengan ketulusan, keikhlasan serta tanpa pamrih, jikalau orang yang anda cintai itu ternyata memiliki perasaan yang sama maka itulah yang disebut anugerah. Cintailah seseorang itu seperti cintanya orang tua kepada anaknya, cinta kakak kepada adiknya, cinta Tuhan kepada hambaNya yang tidak pernah akan habis dan luntur. Maka janganlah kotori rasa cinta oleh keegoisan kita, cinta yang suci adalah cinta yang bersih dari rasa pamrih. Tebarlah cinta kasih di seluruh muka bumi dengan ketulusan dan kebersihan hati.

Thursday 19 February 2009

Detik Penantian

Aku bersyukur masih diberikan kesempatan untuk bernafas hari ini
Menghirup salah satu kemurahan-Nya
Mengikuti guliran waktu yang terus berjalan
Hingga kelak berhenti pada suatu detik yang abadi

Saat ini aku masih menanti detik lain yang masih samar di hadapanku
Suatu detik yang benar-benar aku nanti dalam hidupku
Detik tentang kebenaran
Tentang kebahagiaan…..

Tapi dalam menunggu aku tak boleh termangu..
Masih banyak hal besar di pelupuk mata yang butuh gerakku,semangatku…
Dentangan waktu yang bergerak perlahan atau cepat
Akan mengantarkanku pada masa yang tak tersekat

Lalu kapan yang samar itu terlihat terang atau gelap?
Yang jelas aku pun tak tahu kapan saat itu datang
Tapi aku yakin semua akan datang pada saat yang tepat
Ketika semua hadir beserta ridho Yang Maha Kuat

Saturday 14 February 2009

ehm..apa ya???

ehm...ni blog dah lama kagak keurus hehhe...maklum angin-anginan banget mw nulis...ntar deh posting lagi klo dah ada ide..huehehhe

Sunday 1 February 2009

Standar Ganda Amerika Serikat terhadap Pelanggaran HAM oleh Israel di Palestina

A. PENDAHULUAN


Serangan Israel pada Tanggal 27 Desember 2008 ke Palestina merupakan awal terjadinya holocaust baru di tanah Palestina. Alasan Israel melakukan serangan tersebut adalah karena selama kurun waktu 9 tahun Israel terus menerus diserang oleh Hamas melalui serangan roket-roket yang tiada henti. Oleh karena itu serangan yang dilakukan oleh Israel ini merupakan sebuah bentuk pertahanan negara terhadap ancaman yang berasal dari luar.

Selama lebih dari 2 pekan Israel terus membombardir kawasan Gaza hingga telah banyak merenggut korban. Hingga tanggal 17 Januari 2009, jumlah korban tewas telah mencapai lebih dari 1300 orang dan lebih dari 5000 orang terluka parah. Hal yang sangat disayangkan dunia internasional yakni mayoritas korban adalah warga sipil yang separuh diantaranya merupakan perempuan dan anak-anak. Sedangkan di pihak Israel hanya 13 korban jiwa yang terdiri dari 10 tentara dan 3 warga sipil, dari jumlah korban yang begitu berbeda jauh menunjukkan bahwa perang ini amat sangat tidak seimbang.

Serangan Israel kini tak lagi mengenal hukum perang internasional, pasalnya seluruh wilayah Palestina dibombardir tiada henti baik itu sarana publik seperti rumah sakit dan sekolah tetapi juga sarana ibadah. Warga sipil yang diharamkan untuk diserang pun tak luput menjadi sasaran dan kini disinyalir bom yang dijatuhkan oleh Israel pun mengandung senyawa kimia yang berbahaya . Organisasi Hak Asasi Manusia Human Rights Watch (HRW) membenarkan bahwa militer Israel telah menggunakan senjata kimia berbahaya, Senjata kimia itu berupa bom-bom yang mengandung fosfor putih yang jika mengenai tubuh manusia, bisa membakar daging sampai ke tulang-tulangnya.[1] Hal ini ditandai oleh adanya percikan api dalam serangan udara di atas Jalur Gaza yang diikuti dengan kepulan asap tebal dan sinar api yang menunjukkan indikasi kuat penggunaan fosfor putih padahal berdasarkan Konvensi ketiga tentang Senjata Konvensional yang dirilis tahun 1980, zat kimia berupa fosfor putih dilarang digunakan sebagai senjata dalam peperangan, bahkan jika tragetnya adalah instalasi-instalasi militer.[2]

Perang yang terjadi ini sudah tergolong perang brutal yang tidak kenal aturan dan sangat sewenang-wenang terlebih mengingat kedua belah pihak memiliki kekuatan yang jauh berbeda. Israel dengan senjata dan teknologi yang sangat lengkap sedangkan pihak Palestina yakni Hamas hanya mengandalkan roket-roket yang tidak seberapa kekuatannya dibandingkan dengan senjata yang digunakan oleh Israel. Hal ini merupakan keanehan jika Israel lah yang merasa terancam dengan serangan pejuang Hamas dan mendeklarasaikan bahwa serangan Israel ke Jalur Gaza merupakan suatu bentuk pembelaan diri.

PBB akhirnya mengeluarkan resolusi 1860 kepada Israel pada tanggal 8 Januari 2009 yang pada intinya meminta Israel menghentikan agresinya di Gaza, membuka semua perbatasan, penarikan pasukan Israel dari Gaza. Namun, resolusi terlihat sangat lunak dan tidak memaksa Israel secara tegas karena tidak dicantumkan batas waktu bagi Israel dan sanksi yang akan diberikan apabila Israel tidak mentaati resolusi PBB.

Adapun isi dari Resolusi 1860 tersebut antara lain:

a. Tidak menghalangi bantuan kemanusiaan di Gaza baik berupa makanan, bahan bakar, maupun keperluan medis.

b. Wujudkan gencatan senjata sesegera mungkin.

c. Penekanan untuk menghormati gencatan senjata

d. Penarikan penuh pasukan Israel dari Gaza

e. Mengutuk semua kekerasan dan teror yang diarahkan kepada warga sipil dan semua aksi terorisme.

f. Pembukaan kembali perbatasan Gaza berbasis pada Perjanjian Pergerakan dan Akses Antara Otoritas Palestina dengan Israel.

g. Menyerukan untuk mencegah penyelundupan senjata.

h. Mendorong rekonsiliasi internal Palestina.

i. Mencapai perdamaian yang komprehensif dengan visi sebuah wilayah dengan dua negara demokratis, Israel dan Palestina, hidup damai dengan perbatasan yang aman dan diakui sesuai resolusi 1860.

Lahirnya Resolusi 1860 ini pada kenyataan tidak diindahkan sama sekali oleh Israel, pasalnya setelah Resolusi tersebut disahkan Israel tetap menggempur wilayah Gaza tanpa henti. Hal tersebut seharusnya telah membuka mata dunia internasional bahwa Israel merupakan negara yang sangat sewenang-wenang dan brutal melalui keengganannya melaksanakan resolusi tersebut.

Resolusi 1860 didukung 14 anggota Dewan Keamanan PBB, sedangkan AS adalah satu-satunya anggota yang memilih abstain. AS yang diwakili oleh Menteri Luar Negeri nya, Condoleezza Rice menyampaikan pertimbangan sebelum menyampaikan suara negerinya. Ia mengatakan sepenuhnya mendukung resolusi tersebut, tetapi memilih abstain karena merasa sangat penting melihat hasil dari mediasi yang dilakukan Mesir terlebih dulu.[3]

Kebijakan AS dalam menanggapi masalah agresi Israel ini terlihat begitu tendensius dan pilih kasih. AS yang menganggap negaranya sebagai negara paling demokratis dan menjunjung tinggi demokrasi mendadak menjadi enggan menegakkan demokrasi di Palestina. Dukungan AS terhadap Israel memang sangat besar tercermin dari kebijakan awalnya mem-veto resolusi PBB dan menyatakan abstain ketika resolusi itu dikeluarkan. Hal ini menyiratkan adanya standar ganda AS dalam menghadapi agresi militer Israel ke Jalur Gaza.


B. PEMBAHASAN

Serangan brutal Israel ke Jalur Gaza memperoleh banyak tanggapan dari dunia internasional dan mayoritas mengecam tindakan brutal Israel yang tidak berperikemanusiaan dimana sekitar 1300 orang tewas dan lebih dari 5000 orang terluka parah. Serangan ini sudah dapat dikategorikan sebagai bentuk pembantaian atau genosida.

Serangan ini merupakan suatu pelanggaran HAM berat dan Israel dapat dikategorikan sebagai penjahat perang karena telah banyak sekali melanggar aturan-aturan perang diantaranya; penyerangan terhadap warga sipil khususnya perempuan dan anak-anak, pengeboman fasilitas-fasilitas public dan penggunaan senjata kimia berbahaya yakni fosfor putih dan bahan peledak besi mulia padat yang mematikan.

Dengan kondisi seperti ini Amerika Serikat yang mengaku sebagai penegak HAM dan demokrasi ini anteng-anteng saja menanggapinya. Hal yang pasti akan berbeda jika yang melakukannya adalah negara Muslim karena sudah terbukti di Irak bahwa adanya kecurigaan saja AS sudah bertindak dengan keras sedangkan apa yang terjadi di depan mata dunia internasional adalah nyata bukan ilusi. Jelaslah bahwa AS telah melakukan standar ganda dalam kasus Palestina ini yang sudah jelas merupakan pelanggaran HAM berat.

1. American Israel Public Affairs (AIPAC) Sebagai Organisasi Lobi Yahudi Pengaruhi Kebijakan AS

Selama berpuluh-puluh tahun lamanya pendudukan Yahudi di Tanah Palestina telah menimbulkan penderitaan yang sangat mendalam bagi rakyat Palestina. Perlahan namu pasti wilayah Palestina dirampas tentunya diiringi oleh pertumpahan darah dan mengakibatkan pembantaian rakyat Palestina. Sampai tahun 2000, Israel sudah berhasil menguasai 90% tanah Palestina sehingga yang tersisa adalah Gaza dan Tepi Barat.

Selain memerangi bangsa Palestina, kelompok ekstrimis Zionis juga melakukan aksi-aksi terror dan perusakan terhadap Masjidil Aqsa, kiblat pertama umat Islam. Namun, hingga kini, berkat pembelaan gigih bangsa Palestina dan umat Islam sedunia, hingga hari ini Masjidil Aqsha tetap tegak berdiri. Segala bentuk kekejaman dan kekejian rezim Zionis itu tidak akan mungkin bisa terlaksana bila rezim ini tidak mendapat dukungan langsung dari Amerika Serikat.

Dalam hal ini tentulah Zionis tidak berdiri seorang diri. Ada raksasa besar yang terus menjadi pendukungnya yakni Amerika Serikat. Timbul pertanyaan di benak rakyat dunia, yaitu mengapa Amerika begitu bersungguh-sungguh mendukung rezim Zionis? Bukankah dukungan AS itu, antara lain dalam bentuk sumbangan gratis sebesar jutaan dolar pertahun, malah membuat kondisi perekonomian dalam negeri AS sendiri terganggu? Namun, satu hal yang jelas, lobi-lobi Zionis di Amerika berperan besar dalam membujuk pemerintah AS agar selalu mendukung Tel Aviv, baik secara diplomatic maupun finansial.

Tidak bisa dipungkiri lagi, orang-orang Yahudi di AS yang hanya merupakan dua persen dari keseluruhan populasi Amerika, memiliki kekuatan dan infiltrasi yang sangat besar di negara ini. Mereka mengontrol sebagian besar media massa dan sumber keuangan di AS. Mereka menggunakan kekuatan itu untuk mengontrol pemerintah AS dan memaksa pemerintah Gedung Putih untuk mematuhi semua kehendak mereka.

Di AS organisasi lobi Zionis ini tidak dapat terlepas dari pemerintahan itu sendiri, jadi diibaratkan AS dan organisasi lobi yang membawa kepentingan Israel merupakan dua di dalam satu (two in one) yang tidak dapat dilepaskan satu sama lain. Organisasi bisa digolongkan sebagai elit politik di Gedung Putih maupun Parlemen, pasalnya seringkali mereka lebih berpengaruh daripada anggota parlemen ataupun presiden sekalipun. Orang-orang Zionis memainkan peran penting dalam menginfiltrasi tubuh pemerintah AS dan mempengaruhi pengambilan keputusan para pejabat Amerika, khususnya dalam masalah krisis Palestina dan Timur Tengah, termasuk juga yang berperan mendesak Amerika agar terus memberikan dukungan penuh kepada rezim Zionis.

Pada tahun 1986, mantan staf AIPAC Richard B. Straus menulis di The Washington Post bahwa "kebijaksanaan Timur Tengah Amerika telah berubah demikian dramatisnya dengan berpihak pada Israel" sehingga kini hal semacam itu hanya dapat dilukiskan sebagai suatu "revolusi." Dia mengutip Dine yang mengatakan bahwa hubungan istimewa itu "merupakan suatu kemitraan yang mempunyai dasar luas dan mendalam, yang berkembang dari hari ke hari menuju suatu aliansi diplomatik dan militer sepenuhnya." Straus menyatakan juga bahwa "Para pendukung negara-negara Arab di Kementerian Luar Negeri mengakui bahwa kepentingan-kepentingan Arab hampir tidak pernah dijadikan bahan dengar pendapat di Washington sekarang ini. Kini hanya kepentingan-kepentingan Israel yang dipertimbangkan.[6]

Dalam membahas masalah ini, hal penting yang patut menjadi fokus yakni bahwa kebanyakan orang Yahudi Eropa yang hijrah ke AS pada umumnya merupakan Yahudi dari kalangan elit, terpelajar dan kaya. Dengan latar belakang yang demikian, masyarakat Yahudi ini dengan cepat merebut posisi-posisi sosial dan politik yang penting di AS. Posisi dan kedudukan mereka semakin hari semakin menguat sehingga berhasil merebut kendali pemerintah dan negara sebesar AS. Artinya, setiap langkah AS disetir oleh kalangan Yahudi yang lazim disebut lobi.[7]

                Munculnya ide Theodor Herzl tentang zionisme, kaum Yahudi di AS menunjukkan dukungan yang luar biasa. Mereka memanfaatkan pengaruh Yahudi di AS untuk membantu Zionisme. Yahudi AS beberapa kali menjadi tuan rumah penyelenggaraan konferensi zionisme dunia. Inggris sebagai negara imperialis besar di zaman itu, ikut memberikan bantuan kepada Zionis. Dengan menipu dan terkadang menekan para pemimpin Arab, Inggris membuka jalan bagi orang-orang Yahudi untuk hijrah ke Palestina.    
      Selama menjajah Palestina, koloni Inggris sengaja memanfaatkan orang-orang Yahudi ekstrem untuk membantu menumpas gerakan perlawanan rakyat Paletina. Lambat laun, Yahudi Zionis di Palestina semakin kuat dan mereka juga telah memiliki barisan tentara. Tahun 1948, sehari setelah Inggris keluar dari Palestina, orang-orang Zionis mengumumkan berdirinya negara Yahudi di sana yang 
mereka namakan Israel. Berdirinya rezim ilegal ini juga dibarengi dengan pembantaian massal dan pengusiran rakyat Palestina dari negeri mereka.   
                 Namun , Yahudi sebagai agama tentu tidak menghalalkan praktik-praktik yang dijalankan Zionis. Karena itu bisa dikatakan bahwa Zionisme adalah ide yang didukung oleh orang-orang Yahudi ekstrem yang mengemas kepentingan dunia dengan kedok agama. Yahudi yang memiliki pengaruh kuat di AS, umumnya berasal dari kelompok ekstrem dan Zionis yang ikut membidani kelahiran rezim Israel. Mereka yang lazim disebut lobby Yahudi Zionis adalah kelompok yang sejak Kelahiran Amerika Serikat telah memegang kendali negara itu. 
                Dengan beitu tidaklah mengherankan jika pada akhirnya Yahudi meyakini bahwa meyakini Israel bukan negeri yang terpisah dari AS, bahkan lebih dari itu, sistem pemerintahan Israel tidak dapat dipisahkan dari AS. Dengan kata lain, pemerintah AS tidak dapat melepaskan Rezim Zionis Israel dari dukungannya. Sebab, Konstitusi AS disusun untuk kepentingan kaum Yahudi ekstrem dan Israel adalah negeri orang-orang ekstrem tersebut.

Sandra Mackey--dalam Passion and Politics (1994)--disebut sebagai the most powerful lobby in Washington (lobi paling berkuasa di Washington). Selain AIPAC, ada kelompok-kelompok lobi Yahudi lain di AS, seperti ADL (Anti-Defamation League), JDL (Jewish Defense League), RJC (Republican Jewish Coalition), The Israel Project, dan CFR (Council for Foreign Relations). Para politikus dan analis politik, seperti Douglas Feith, Paul Wolfowitz, Richard Perle, Daniel Pipes, Henry Kissinger, Eliot Abrams, dan William Cohen, adalah bagian dari jaringan mereka.[8]

Hampir semua kebijakan Timur Tengah (Timteng) Pemerintah AS dipengaruhi mesin lobi yang memiliki sekitar 60.000 staf ini. Mereka berhasil mendapat dukungan Senat untuk memberi bantuan 3 miliar dollar AS per tahun kepada Israel; jumlah terbesar yang diberikan AS kepada negara-negara sahabatnya.

Dengan efisiensi tinggi, American Israel Public Affairs Committee (AIPAC) juga terlibat dalam berbagai forum PBB. Andalannya, melalui veto AS di Dewan Keamanan PBB, misalnya, tiap rencana sanksi atas teror Israel terhadap Palestina selalu digagalkan. Selama 60 tahun keberadaan AIPAC, nyaris semua pemerintahan AS terdorong menjadi ”sahabat dekat” Israel. Dipuncaki pemerintahan George W Bush yang terang-terangan mendukung Israel dalam perangnya melawan keinginan rakyat Palestina untuk merdeka. Dengan begitu tidaklah mengherankan apabila Mortimer Zimmermann, salah seorang petinggi AIPAC, menyebut Bush sebagai ”sahabat terbaik yang pernah dimiliki Israel di Gedung Putih” (Urs Gehriger, 2002). Hal ini pula yang membuat mendiang PM Israel Ariel Sharon pernah sesumbar saat mengatakan bahwa, ”Kita, bangsa Yahudi, mengontrol Amerika, dan Amerika mengetahui itu.” (Phoenix TV, 12/10/2001).[9] Koran The New York Times (1987) pernah menyebut AIPAC sebagai basis kekuatan utama dalam menyusun kebijakan AS, terutama yang menyangkut masalah Timur Tengah. Jadi, menjadi hal yang tidak mengherankan jika hampir semua kebijakan Israel yang merugikan Timur Tengah dan Islam, pemerintah AS sering tak bersuara jika dibandingkan dengan wilayah lainnya. Kelompok kecil ini bahkan dikenal cenderung mendikte dan jika perlu menjatuhkan seorang presiden AS jika dianggap merugikan misi Zinonisme. Sampai hari ini, `The Loby' memiliki anggota sekitar 60 ribu yang bekerja untuk kepentingan Zionis. Tidak ada satupun kebijakan AS tanpa melalui AIPAC hingga hari ini.[10]

2. Kepentingan AS di Timur-Tengah

Melihat kejahatan kemanusiaan yang telah dilakukan Israel membuat dunia internasional berang kecuali Amerika Serikat selaku sekutu terdekat Israel. Amerika tentu tidak serta merta melakukan apa yang diinginkan masyarakat dunia pada umumnya yaitu perdamaian di Palestina, namun yang terjadi justru sebaliknya yakni mendukung Israel secara terang-terangan. Hamas dianggap sebagai musuh besar bagi Israel yang akan mengancam kepentingan politik Israel dan musuh Israel berarti musuh AS pula. Hamas dianggap sebagai teroris yang mengancam keamanan negara israel karena seringnya pihak Hamas meluncurkan roket-roket mereka ke wilayah Israel. Teroris kini sudah sangat identik dengan Islam, padahal siapakah sebenarnya yang patut disebut teroris? Penjajah ataukah yang dijajah?

Standar ganda yang seringkali diterapkan oleh AS termasuk pada masalah agresi Israel ini, merupakan suatu upaya untuk menjaga kepentingan Israel di Timur Tengah dan tekanan dari organisasi lobi Israel. AS akan terus berupaya untuk terus mendominasi dan mengintervensi negara-negara kaya minyak ini dan berupaya untuk memecah belah sesama negara Timur-Tengah agar tetap di bawah kendali AS.

Keberadaaan Israel sebagai anak emas AS di wilayah Timur-Tengah adalah patut dijaga eksistensinya oleh AS, pasalnya posisi Timur Tengah yang sangat strategis menjadikannya sangat penting bagi perekonomian AS, konflik yang sering terjadi di Timur Tengah menjadi peluang tersendiri bagi AS untuk menjual senjata sehingga tak heran terkadang konflik itu sengaja dicitakan agar pasar senjata AS dapat berjalan secara efektif dan yang tidak kalah penting adalah keberadaan minyak di kawasan Timur-Tengah merupakan aset penting bagi AS yang patut terus dikontrol melalui pembentukan kerjasama, aliansi maupun penguasaan terhadap negara-negara di kawasan tersebut seperti Arab Saudi, Mesir, Irak, dan Yordania.

Eksisitensi Hamas di Palestina terlebih setelah kemenangan Hamas pada Pemilu tahun 2006 dianggap sebagai ancaman bagi Israel karena sampai detik ini Hamas tidak mengakui negara Israel dan akan terus berjuang melawan zionis Israel yang telah merenggut hak, kehidupan dan tanah Palestina yang mengakibatkan penderitaan rakyat hingga saat ini.

Dukungan AS ini sangat kuat terhadap kepentingan Israel dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Bush munculnya Dick Cheney (Wakil Presiden), Donald Rumsfeld (Menteri Pertahanan), Richard Perle (Kepala Badan Kebijakan Pertahanan), dan Paul Wolfowitz (Wakil Sekretaris Menteri Pertahanan), yang pada tahun 1997 merancang "Proyek Pengendalian Dunia (PNAC)" untuk menguasai wilayah Timur Tengah. Mereka berkolaborasi dengan kelompok garis keras di Partai Likud-Israel, yang dipimpin oleh Ariel Sharon, untuk terus mempengaruhi dan mengendalikan berbagai kebijakan pemerintah AS.[11]

Hal yang patut kita ketahui bersama adalah adanya agenda dan tujuan utama dari konspirasi AS-Zionisme-Israel yakni menempatkan yahudi-yahudi imigran ke Palestina dan mengusir penduduk Palestina dari kampung halamannya ke negara-negara Arab sekitarnya. Kaum Zionis bercita-cita untuk membentuk "Eretz Israel” atau Israel raya, yaitu tanah yang dijanjikan di dalam Talmud, meliputi wilayah Arab Saudi, Suriah, Yordania, Mesir, sampai ke Irak, atau wilayah yang sekarang membentang dari sungai Nil sampai sungai Eufrat. Ini merupakan suatu wilayah paling strategis di dunia sepanjang jalur Mesopotamia. Selain itu, wilayah ini mengandung sumber energi minyak bumi yang paling besar di dunia.[12] Telah kita ketahui bersama bahwa kini Israel telah menguasai sekitar 90% wilayah Palestina berarti tujuan pertama hampir berhasil agar penduduk Palestina terusir dari tanah air mereka, ditambah serangan Israel baru-baru ini telah meluluhlantakkan kota Gaza. Sedangkan pembentukan Israel Raya meliputi wilayah Arab Saudi, Suriah, Yordania, Mesir sampai ke Irak juga sudah nyaris terwujud dimana negara-negara tersebut saat ini berada dalam dominasi AS dan Israel.

Kesamaan kepentingan antara AS dan Israel, AS dengan tujuan kapitalistiknya dengan penguasaan ladang-ladang miyak di Timur Tengah dan Israel dengan cita-citanya menciptakan Israel Raya melahirkan kombinasi yang sangat strategis dengan ­road map ­yang selaras sehingga dengan kemampuan finansial, militer dan intelejen yang handal, mereka dapat menaklukkan pusat-pusat kekuatan Timur Tengah.

Terpilihnya Obama sebagai Presiden AS yang baru sepertinya juga tidak akan banyak membuat perubahan arah politik luar negeri AS di Timur Tengah terutama masalah Palestina yang sedang menjadi isu yang paling panas saat ini secara signifikan. Hal ini tercermin pada pidato pertama Obama sesaat setelah pelantikan yang tidak mengungkapkan sepatah kata pun mengenai penyelesaian serangan Israel ke Jalur Gaza, seolah hal ini menjadi sangat tabu untuk ditanggapi oleh AS. Menyangkut masalah Afganistan dan Irak atau negara Islam pada umumnya Obama menekankan pada adanya prinsip hubungan saling menghormati. Ini jelas mengindikasikan bahwa adanya upaya menutup mata terhadap masalah Palestina yang jelas berhubungan langsung dengan Israel. Meskipun kemudian Obama mengeluarkan kebijakan sebagai upaya mewujudkan perdamaian antara Israel dan Palestina melalui pengiriman Mitchell yang notabene bukan merupakan orang Yahudi seperti apa yang dilakukan oleh presiden sebelumnya dan di sisi lain menyatakan dengan tegas tetap berpihak kepada Israel.

Upaya Obama ini sementara dapat memperlihatkan kepada publik bahwa AS yang telah mendaulat dirinya sebagai polisi dunia diperkirakan tidak akan mempu menciptakan keadilan di wilayah Gaza siapapun presidennya. Bukti-bukti nyata pelanggaran HAM di Gaza pun tampak abu-abu di mata AS karena tentu saja eksistensi Hamas di Palestina sangat mengancam kepentingan AS dan Israel tentunya. Sikap ini memang tidak lagi mengherankan karena pertama, AS adalah sekutu kuat Israel yang akan membela Israel mati-matian, kedua, kehancuran Hamas merupakan hal yang juga diinginkan oleh AS dan ketiga, pada dasarnya AS yang mendeklarasikan diri sebagai negara paling demokratis pada kenyataan di lapangan justru sering melanggar HAM seperti yang terjadi di Afganistan dan Irak dengan mengatasnamakan pemberantasan terorisme.

C. KESIMPULAN

Berdasarkan pada apa yang telah penulis paparkan jelaslah bahwa HAM yang menjadi fokus isu global kini menjadi isu yang tak lagi penting bagi negara sekelas AS dan Israel. Ketika kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Israel dengan mengorbankan sekitar 1700 warga sipil yang tewas, lebih dari 5.000 terluka parah dan kini akibat gempuran menyebabkan hancurnya bangunan-bangunan mulai dari rumah, sekolah, masjid, dan infrastruktur publik lain, AS menuding bahwa ini adalah kesalahan Hamas atas beberapa serangan roketnya ke wilayah Israel dan ini merupakan upaya Israel mempertahankan diri. Sudah sepantasnyalah Israel diseret ke Mahkamah Internasional atas kejahatan perang yang telah dilakukannya karena telah banyak melanggar aturan perang yang telah disepakati oleh dunia Internasional seperti penyerangan terhadap warga sipil, penyerangan fasilitas publik, dan penggunaan senjata kimia berbahaya.

Kebijakan AS yang tidak memihak pada kebenaran dan keadilan memperlihatkan bahwa apa yang telah dikatakan oleh Ariel Sharon bahwa Amerika berada di bawah kendali Israel adalah benar dan nyata. Israel melalui organisasi lobi nya dapat mempengaruhi secara signifikan dalama pembuatan kebijakan AS agar tetap mendukung kepentingan zionis Israel.

Hamas sebagai pejuang Palestina yang hingga detik ini tidak mengakui Israel sebagai negara merupakan ancaman bagi kepentingan Israel dan AS di kawasan tersebut. Hamas akan terus menjadi ancaman bagi eksistensi keduanya di Timur Tengah terlebih bagi Israel, Hamas akan menghalangi Israel menguasai wilayah Palestina secara keseluruhan yang telah menjadi cita-cita bagi zionis Israel. Selama Hamas belum berhasil mereka tumpas maka bisa diprediksi perdamaian antara Israel dan Palestina tidak akan terwujud dan akan terjadi perang-perang lainnya di masa yang akan datang.

D. DAFTAR PUSTAKA

Mas’oed, Mohtar, Studi Hubungan Internasional: Tingkat Analisis dan Teorisasi, ( PAU-SS-UGM: Yogyakarta, 1989)

White, Brian, Richard Little and Michael Smith, Ed, Issues In World Politics, (Palgrave: New York, 2001)

HRW Akui Israel Gunakan Senjata Kimia Berbahaya, Senin, 12 Januari 2009, www.eramuslim.com

DK PBB Keluarkan Resolusi DK PBB Keluarkan Resolusi: AS Memilih Abstain, Israel Tetap pada Putusan Sendiri, 10 Januari 2009, sumber: Kompas

Richard B. Straus, Washington Post, 27 April 1986

Mengapa Amerika Serikat Mati-Matian Mendukung Israel, 16 April 2007, oleh: Anwar Ali, www.mail-archive.com/ppdi@yahoogroups.com/msg02065.html

Lobi Yahudi dan “Anak Babi”, 3 September 2004, oleh: Riza Sihbudi (Ahli Peneliti Utama LIPI, Dosen Pascasarjana UI), Koran Tempo

Lobi Israel dan” Suara Lain”, 19 Januari 2009, oleh: Ivan A. Hadar, KOMPAS

Dajjal Itu Zionisme Berwajah Amerika, 10 Maret 2004, www.swaramuslim.com

Konspirasi AS-Israel di Timur Tengah, 13 Oktober 2003, oleh: Al-Muzammil Yusuf dan Mohammad Safari (Center For Middle East Studies/COMES), www.swaramuslim.com

Encarta 2008



[1] HRW Akui Israel Gunakan Senjata Kimia Berbahaya, Senin, 12 Januari 2009, www.eramuslim.com

[2] Ibid.

[3] DK PBB Keluarkan Resolusi DK PBB Keluarkan Resolusi: AS Memilih Abstain, Israel Tetap pada Putusan Sendiri, 10 Januari 2009, sumber: Kompas

[4] Encarta 2008

[5] Mohtar Mas’oed, Studi Hubungan Internasional: Tingkat Analisis dan Teorisasi, ( PAU-SS-UGM: Yogyakarta, 1989)

[6] Richard B. Straus, Washington Post, 27 April 1986

[7] Mengapa Amerika Serikat Mati-Matian Mendukung Israel, 16 April 2007, oleh: Anwar Ali, http://www.mail-archive.com/ppdi@yahoogroups.com/msg02065.html

[8] Lobi Yahudi dan “Anak Babi”, 3 September 2004, oleh: Riza Sihbudi (Ahli Peneliti Utama LIPI, Dosen Pascasarjana UI), Koran Tempo

[9] Lobi Israel dan” Suara Lain”, 19 Januari 2009, oleh: Ivan A. Hadar, KOMPAS

[10] Dajjal Itu Zionisme Berwajah Amerika, 10 Maret 2004, www.swaramuslim.com

[11] Konspirasi AS-Israel di Timur Tengah, 13 Oktober 2003, oleh: Al-Muzammil Yusuf dan Mohammad Safari (Center For Middle East Studies/COMES), www.swaramuslim.com

[12] Ibid.

Monday 12 January 2009

Developmental State dan Pemerintahan Otoritarian

Keberhasilan penerapan konsep Developmental State di negara-negara Asia Timur khususnya Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan sangat erat dikaitkan dengan sistem politik otoritarianisme yang mayoritas dianut oleh negara-negara tersebut. Muncul statement bahwa penerapan Developmental State hanya berhasil pada negara-negara yang pemerintahannya otoriter. Hal ini merebak disebabkan oleh penerapan Developmental State pada negara demokrasi cenderung tidak berhasil sebagai contohnya Indonesia.

Developmental state merupakan konsep yang dipopulerkan oleh Chalmers Johnson untuk melihat sebuah model pembangunan di negara-negara Asia Timur yang cukup sukses seperti di Jepang, Taiwan, Korea Selatan. konsep ini merupakan suatu jawaban bagi kalangan dependensia yang melihat kegagalan modernis.

Developmental state adalah suatu paradigma yang mempengaruhi arah dan kecepatan pembangunan ekonomi dengan secara langsung mengintervensi proses pembangunan yang berbanding terbalik dengan cara berpikir yang mengandalkan kekuatan pasar dalam mengalokasikan sumber daya ekonomi. Paradigma ini membangun tujuan substantif sosial dan ekonomi yang memandu proses pembangunan dan mobilisasi sosial. Karakteristik dari paradigma ini adalah negara yang kuat, peran dominan pemerintah, rasionalitas teknokratik dalam pembuatan kebijakan ekonomi, birokrasi yang otonom dan kompeten serta terlepas dari pengaruh kepentingan politik.

Secara detil dalam Johnson’s formulation (Pei-Shan Lee, 2002), bahwa yang dimaksud dengan developmental state adalah yang memiliki unsure-unsur di bawah ini:
  1. memprioritaskan pertumbuhan ekonomi dan produksi (sebaliknya dari konsumsi dan distribusi) sebagai tujuan fundamental dari kegiatan negara.
  2. merekrut aparat birokrasi ekonomi yang bertalenta tinggi, kohesif dan disiplin
  3. mengkonsentrasikan talenta birokrasi ke dalam lembaga sentral yang bertanggung jawab atas tugas transformasi industrial.
  4. melembagakan hubungan antar birokrasi dengan elit bisnis dalam rangka pertukaran informasi dan mendorong kerjasama dalam keputusan-keputusan penting berdasarkan pembuatan kebijakan yang efektif.
  5. melindungi jaringan pengambil kebijakan dari tekanan kepentingan dan tuntutan lainnya.
  6. mengimplementasikan kebijakan pembangunan dengan kombinasi jaringan kerja pemerintah dengan dunia industrial dan kontrol publik atas sumber daya sumber daya, seperti keuangan.

Kegagalan penerapan Developmental State bersamaan dengan kemunculan globalisasi yang kemudian mendorong diterapkannya demokrasi dalam sistem ekonomi. Masuknya arus globalisasi yang menciptakan pasar bebas, sedikit demi sedikit akan melunturkan peran negara. Prinsip yang berkembang yakni Laissez Faire Laissez Passer dimana pasar bergerak dengan sendirinya tanpa ada kontrol dari pemerintah sehingga penetapan harga didasarkan pada mekanisme pasar atau biasa disebut invisible hand.

Adapun bukti kegagalan penerapan Developmental State di Indonesia sangat erat kaitannya dengan lahirnya ekonomi pasar bebas. Mochtar Mas’oed menjelaskan bahwa sejak Indonesia membuka ekonominya, ternyata tidak diikuti oleh ukuran-ukuran preventif serta kebijakan preventif untuk mengatasi berbagai masalah. Oleh karenanya beberapa pakar percaya bahwa kegagalan ini lebih disebabkan oleh pengambil dan pembuat kebijakan, apalagi proses penyusunan kebijakan yang tidak transparan (pada saat itu).

Menurut Beeson (2002) adalah penting untuk diingat bahwa negara-negara Asia Tenggara, dibandingkan dengan negara-negara Asia Timur, tidak hanya lemah dari segi sumber daya dan kapasitas, akan tetapi juga mereka dihadapkan pada pelaksanaan pembangunan yang sangat terlambat. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintahan otoritarian tidaklah menjadi jaminan utama dalam keberhasilan developmental state karena adanya unsur-unsur lain dalam komposisi developmental state yang ideal seperti yang diungkapkan oleh Johnson di atas. Seperti yang terjadi di Indonesia dan beberapa negara Asia Tenggara lainnya, kesalahan terjadi pada tidak berkualitasnya birokrasi yang ada serta ketidakmampuan birokrat untuk memformulasikan dan mengimplementasikan kebijakan pembangunan. Masalah Sumber daya manusia yang tidak berkualitas disebabkan adanya unsur KKN dalam perekrutan sehingga tak heran kapabilitasnya pun sangat rendah dan diragukan.

Konsep developmental state yang diterapkan oleh Jepang, Taiwan, Korea Selatan serta Singapura ini merupakan suatu sistem yang lahir untuk menjawab kegagalan modernis dengan memberikan peran negara dalam mengatur perekonomian secara efektif. Perpaduan ini menjadi sangat efektif dimana ekonomi tidak dibiarkan menggunakan prinsip Laissez Faire dan negara memiliki peranan yang sangat besar bagi perkembangan perekonomian. Disebutkannya negara dengan sistem politik otoritarian sering dianggap sebagai syarat keberhasilan pembangunan adalah karena negara otoritarian akan lebih mudah mengatur rakyat sehingga kondisi politik ekonomi lebih stabil sehingga investasi akan lebih mudah masuk. Seperti yang terjadi di Indonesia pada masa Orde Baru, pemerintahan di bawah Rezim Soeharto tidak kalah otoriter bahkan cenderung represif tetapi pada kenyataannya tidak menghasilkan perekonomian yang mapan. Hal ini disebabkan oleh pondasi yang dibangun sangatlah rapuh karena Indonesia menggantungkan ekonomi kepada pihak asing yaitu IMF dan Bank Dunia bukan pada aspek-aspek dalam negeri seperti kuatnya industri kecil dan pertanian, pasalnya perekonomian Indonesia ambruk ketika dihantam badai krisis moneter tahun 1997.

Jadi, apakah negara itu menganut demokrasi ataupun otoriter, hal yang utama dalam keberhasilan developmental state adalah kapasitas negara (state capacity) yakni kemampuan untuk memformulasikan dan mengimplementasikan kebijakan pembangunan sehingga tercipta sistem perekonomian yang kokoh dan tercipta kemandirian ekonomi di segala aspek.


Wednesday 7 January 2009

Israel Terus Gempur Palestina

Gemburan Israel ke Jalur Gaza kian gencar, korban terus berjatuhan tanpa kenal sipil atau militer. semua bangunan di Gaza luluh lantak tanpa sisa dan yang tersisa adalah ketakutan, kelaparan, darah dimana-mana.

pertanyaan kemudian dimana PBB yang notabene didirikan untuk menjaga perdamaian di dunia yang anarki ini. PBB melalui DK PBB kini tak bisa memberikan resolusi karena AS memveto rencana resolusi kepada Israel. telah kita ketahui bahwa Israel merupakan kaki tangan AS di Timur-Tengah karena pendirian Israel di tanah Palestina merupakan peran dari AS. maka tak heran jika AS memveto keputusan DK PBB untuk memberikan resolusi kepada Israel.Di samping itu Keberadaan Yahudi sangat kuat di Pemerintahan AS memiliki posisi yang sangat penting maka kebijakan yang dilahirkan bukan hanya untuk kepentingan AS saja tetapi juga kepentingan Yahudi Israel.

Adanya veto kini menjadi sangat berbahaya bagi perdamaian dunia, mengapa? karena ketika salah satu negara memveto kebijakan yang sesungguhnya langkah mencapai perdamaian maka tidak akan pernah terjadi perdamaian dan keadilan, terlebih PBB saat ini berada di bawah kekuasaan AS karena dana yang diberika AS sangat besar.

Dengan kondisi seperti ini apakah PBB masih relevan bagi dunia?jika kebijakannya diarahkan pada kepentingan nasional negara adikuasa saja atau paling tidak apakah hak veto itu masih relevan dihadapkan pada situasi yang seperti ini ketika HAM dilanggar sedemikian rupa dan perang brutal yang tak lagi sesuai dengan Hukum Internasional.