Monday 12 January 2009

Developmental State dan Pemerintahan Otoritarian

Keberhasilan penerapan konsep Developmental State di negara-negara Asia Timur khususnya Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan sangat erat dikaitkan dengan sistem politik otoritarianisme yang mayoritas dianut oleh negara-negara tersebut. Muncul statement bahwa penerapan Developmental State hanya berhasil pada negara-negara yang pemerintahannya otoriter. Hal ini merebak disebabkan oleh penerapan Developmental State pada negara demokrasi cenderung tidak berhasil sebagai contohnya Indonesia.

Developmental state merupakan konsep yang dipopulerkan oleh Chalmers Johnson untuk melihat sebuah model pembangunan di negara-negara Asia Timur yang cukup sukses seperti di Jepang, Taiwan, Korea Selatan. konsep ini merupakan suatu jawaban bagi kalangan dependensia yang melihat kegagalan modernis.

Developmental state adalah suatu paradigma yang mempengaruhi arah dan kecepatan pembangunan ekonomi dengan secara langsung mengintervensi proses pembangunan yang berbanding terbalik dengan cara berpikir yang mengandalkan kekuatan pasar dalam mengalokasikan sumber daya ekonomi. Paradigma ini membangun tujuan substantif sosial dan ekonomi yang memandu proses pembangunan dan mobilisasi sosial. Karakteristik dari paradigma ini adalah negara yang kuat, peran dominan pemerintah, rasionalitas teknokratik dalam pembuatan kebijakan ekonomi, birokrasi yang otonom dan kompeten serta terlepas dari pengaruh kepentingan politik.

Secara detil dalam Johnson’s formulation (Pei-Shan Lee, 2002), bahwa yang dimaksud dengan developmental state adalah yang memiliki unsure-unsur di bawah ini:
  1. memprioritaskan pertumbuhan ekonomi dan produksi (sebaliknya dari konsumsi dan distribusi) sebagai tujuan fundamental dari kegiatan negara.
  2. merekrut aparat birokrasi ekonomi yang bertalenta tinggi, kohesif dan disiplin
  3. mengkonsentrasikan talenta birokrasi ke dalam lembaga sentral yang bertanggung jawab atas tugas transformasi industrial.
  4. melembagakan hubungan antar birokrasi dengan elit bisnis dalam rangka pertukaran informasi dan mendorong kerjasama dalam keputusan-keputusan penting berdasarkan pembuatan kebijakan yang efektif.
  5. melindungi jaringan pengambil kebijakan dari tekanan kepentingan dan tuntutan lainnya.
  6. mengimplementasikan kebijakan pembangunan dengan kombinasi jaringan kerja pemerintah dengan dunia industrial dan kontrol publik atas sumber daya sumber daya, seperti keuangan.

Kegagalan penerapan Developmental State bersamaan dengan kemunculan globalisasi yang kemudian mendorong diterapkannya demokrasi dalam sistem ekonomi. Masuknya arus globalisasi yang menciptakan pasar bebas, sedikit demi sedikit akan melunturkan peran negara. Prinsip yang berkembang yakni Laissez Faire Laissez Passer dimana pasar bergerak dengan sendirinya tanpa ada kontrol dari pemerintah sehingga penetapan harga didasarkan pada mekanisme pasar atau biasa disebut invisible hand.

Adapun bukti kegagalan penerapan Developmental State di Indonesia sangat erat kaitannya dengan lahirnya ekonomi pasar bebas. Mochtar Mas’oed menjelaskan bahwa sejak Indonesia membuka ekonominya, ternyata tidak diikuti oleh ukuran-ukuran preventif serta kebijakan preventif untuk mengatasi berbagai masalah. Oleh karenanya beberapa pakar percaya bahwa kegagalan ini lebih disebabkan oleh pengambil dan pembuat kebijakan, apalagi proses penyusunan kebijakan yang tidak transparan (pada saat itu).

Menurut Beeson (2002) adalah penting untuk diingat bahwa negara-negara Asia Tenggara, dibandingkan dengan negara-negara Asia Timur, tidak hanya lemah dari segi sumber daya dan kapasitas, akan tetapi juga mereka dihadapkan pada pelaksanaan pembangunan yang sangat terlambat. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintahan otoritarian tidaklah menjadi jaminan utama dalam keberhasilan developmental state karena adanya unsur-unsur lain dalam komposisi developmental state yang ideal seperti yang diungkapkan oleh Johnson di atas. Seperti yang terjadi di Indonesia dan beberapa negara Asia Tenggara lainnya, kesalahan terjadi pada tidak berkualitasnya birokrasi yang ada serta ketidakmampuan birokrat untuk memformulasikan dan mengimplementasikan kebijakan pembangunan. Masalah Sumber daya manusia yang tidak berkualitas disebabkan adanya unsur KKN dalam perekrutan sehingga tak heran kapabilitasnya pun sangat rendah dan diragukan.

Konsep developmental state yang diterapkan oleh Jepang, Taiwan, Korea Selatan serta Singapura ini merupakan suatu sistem yang lahir untuk menjawab kegagalan modernis dengan memberikan peran negara dalam mengatur perekonomian secara efektif. Perpaduan ini menjadi sangat efektif dimana ekonomi tidak dibiarkan menggunakan prinsip Laissez Faire dan negara memiliki peranan yang sangat besar bagi perkembangan perekonomian. Disebutkannya negara dengan sistem politik otoritarian sering dianggap sebagai syarat keberhasilan pembangunan adalah karena negara otoritarian akan lebih mudah mengatur rakyat sehingga kondisi politik ekonomi lebih stabil sehingga investasi akan lebih mudah masuk. Seperti yang terjadi di Indonesia pada masa Orde Baru, pemerintahan di bawah Rezim Soeharto tidak kalah otoriter bahkan cenderung represif tetapi pada kenyataannya tidak menghasilkan perekonomian yang mapan. Hal ini disebabkan oleh pondasi yang dibangun sangatlah rapuh karena Indonesia menggantungkan ekonomi kepada pihak asing yaitu IMF dan Bank Dunia bukan pada aspek-aspek dalam negeri seperti kuatnya industri kecil dan pertanian, pasalnya perekonomian Indonesia ambruk ketika dihantam badai krisis moneter tahun 1997.

Jadi, apakah negara itu menganut demokrasi ataupun otoriter, hal yang utama dalam keberhasilan developmental state adalah kapasitas negara (state capacity) yakni kemampuan untuk memformulasikan dan mengimplementasikan kebijakan pembangunan sehingga tercipta sistem perekonomian yang kokoh dan tercipta kemandirian ekonomi di segala aspek.


Wednesday 7 January 2009

Israel Terus Gempur Palestina

Gemburan Israel ke Jalur Gaza kian gencar, korban terus berjatuhan tanpa kenal sipil atau militer. semua bangunan di Gaza luluh lantak tanpa sisa dan yang tersisa adalah ketakutan, kelaparan, darah dimana-mana.

pertanyaan kemudian dimana PBB yang notabene didirikan untuk menjaga perdamaian di dunia yang anarki ini. PBB melalui DK PBB kini tak bisa memberikan resolusi karena AS memveto rencana resolusi kepada Israel. telah kita ketahui bahwa Israel merupakan kaki tangan AS di Timur-Tengah karena pendirian Israel di tanah Palestina merupakan peran dari AS. maka tak heran jika AS memveto keputusan DK PBB untuk memberikan resolusi kepada Israel.Di samping itu Keberadaan Yahudi sangat kuat di Pemerintahan AS memiliki posisi yang sangat penting maka kebijakan yang dilahirkan bukan hanya untuk kepentingan AS saja tetapi juga kepentingan Yahudi Israel.

Adanya veto kini menjadi sangat berbahaya bagi perdamaian dunia, mengapa? karena ketika salah satu negara memveto kebijakan yang sesungguhnya langkah mencapai perdamaian maka tidak akan pernah terjadi perdamaian dan keadilan, terlebih PBB saat ini berada di bawah kekuasaan AS karena dana yang diberika AS sangat besar.

Dengan kondisi seperti ini apakah PBB masih relevan bagi dunia?jika kebijakannya diarahkan pada kepentingan nasional negara adikuasa saja atau paling tidak apakah hak veto itu masih relevan dihadapkan pada situasi yang seperti ini ketika HAM dilanggar sedemikian rupa dan perang brutal yang tak lagi sesuai dengan Hukum Internasional.